Batas Waktu
“Kayaknya ini cocok deh” ujarku
sembari memoles lipstick berwarna pink nude di depan cermin. Kemudian berkacak
pinggang, memastikan bahwa penampilanku malam ini sudah terlihat OK.
Tiba-tiba ponselku berdering di atas tempat tidur. Segera ku hampiri diikuti sesimpul senyum kemudian.
Tiba-tiba ponselku berdering di atas tempat tidur. Segera ku hampiri diikuti sesimpul senyum kemudian.
“Halo” ujarku
.
“Cepet berangkat, jemput” semburnya
tiba-tiba. Perkenalkan dia Revan, temanku. Kalian pasti tau lah konotasi teman
yg satu ini seperti apa, karena jujur aku tidak suka menyebutnya sebagai pacar.
Geli tau hahaha.
“Hah jemput? Mana ada orang mau
ngedate cewek jemput cowok” serangku tak mau kalah. Di rumah ngga ada
kendaraan, dipakek semua” jawabnya dengan nada cengengesan.
“Iyadeh, untung ya aku baik hati”
dalam hubungan kami, kami ngga pernah saling gengsi. Tidak ada secara
terang-terangan mendominasi, artinya kita berusaha untuk saling seimbang dan
melengkapi, tidak berat hati pula. Toh, aku melalukan sesuatu yg membuatku
senang.
“Tapi aku ke apotik dulu ya”
imbuhku.
“Kamu sakit?” nada bicaranya
tiba-tiba berubah.
“Enggalah” jawabku santai.
“Terus?”
“Obatnya buat kamu” jawabku
sembari memasukkan dompet ke dalam tas.
“Buat aku? Aku ngga sakit”
jawabnya.
“Ini buat jaga-jaga aja, aku ngga
mau kamu sakit kayak kemaren. Sendiri di rumah dan males buat keluar.
Ujung-ujungan malah tambah parah. Apalagi hampir tiap bulan kamu flu dan batuk.
Aku sampai hafal tiap suaramu beda, kamu pasti lagi flu atau batuk. Kamu sih
kebanyakan begadang, ngerjain tugas di warung kopi” Aku ngerocos, saking hafal
dengan kebiasaannya. Dia diam, tidak menjawab sepatah katapun.
“Udah ya, aku berangkat. Jangan
cerewet!” godaku. “Eh kok mendung ya”
“Yaudah hati-hati di jalan jangan
ngebut. Kalo hujan jangan pulang, berhenti terus minggir”
“Emang kenapa kalo pulang?”
tanyaku.
“Nanti kita ngga jadi ketemu,
kapan lagi ketemu aku”
“Keliatan banget pengen ketemu
hahaha”
“Udah sana berangkat” ujarnya
kemudian menutup telepon.
Aku menutup telepon kemudian memandangi
wallpaper handphoneku, diikuti sesimpul senyum. Padahal kita akan bertemu, tapi
aku selalu suka berbincang dengannya, meskipun hal yg paling tidak penting
sekalipun. Aku segera menyambar kunci motorku dan segera berangkat. Kemana-mana
kami selalu naik motor dan itu menyenangkan. Satu hal yg paling aku suka, aku
bisa melihat berbagai macam ekspresi wajahnya dari kaca spion secara diam-diam,
ssttt jangan bilang dia ya.
Seperti
kataku tadi, tujuanku mampir ke apotik terlebih dahulu sebelum menjemputnya.
Setelah membayar di kasir, ketika berada di tempat parkir, aku mendanga melihat
langit.
“Mendung” aku merasakan tetesan
air mengenai wajahku. Akhirnya aku memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu di
apotik karena cuaca tidak mendukung.
“Hujan, kali ini saja jangan
lama-lama” aku menghembuskan nafas berat sembari menunggu hujan reda.Mengetuk-ngetukkan jari pada kursi, kakiku tidak mau diam, aku cemas. Tiba-tiba
handphonku berdering.
“Halo, masih hujan” ujarku
“Iya, tunggu hujannya reda ya. Jangan
hujan-hujan” katanya lembut.
“Iya” ujarku singkat.
“Yaudah nanti kabari lagi”
“iyaa, bentar lagi paling reda” Aku menutup pembicaraan kami. Menunggu sekitar 15 menit, setelah merasa cuaca mulai bersahabat kemudian segera
menuju rumah Revan.
“Aku udah di depan, cepet keluar”
segera ku klik tulisan kirim ke line Revan, dengan perasaan tidak sabar. Beberapa menit kemudian sosok cowok bertubuh lebih tinggi dariku, memakai kemeja biru tua bercorak dan sepatu senada berjalan menghampiriku. Dia tersenyum tipis
melihatku, ah aku selalu suka itu. Aku berusaha tak membaas senyumnya, menyembunyikan di balik kaca helmku.
“Mau kemana ini?” tanyanya
sembari memakai helm.
“Katamu ke café biasa, tapi
bosen. Aku tau café baru. Kayaknya suasananya enak deh. Yuk kesana” ajakku.
“Boleh” akhirnya kami berangkat.
Setelah sampai di café, kami
segera memilih tempat duduk, memilih di ruangan terbuka dan memesan beberapa makanan. Aku menyodorkan buku
menu kepada Revan. “Kamu pesen apa?” ujarku, dia malah balik bertanya. “Kamu
duluan” jawabku.
“Hmmmm” Revan membolak balik
menu-menu yg tersedia. “Cepet” ujarku menggoda.
“Nasi goreng enak ngga ya?”
tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng sembari menatapnya.
“Yaudah deh nasi goreng sama es teh”
aku segera menulis pada secarik kertas. “Yakin es tehnya cuma satu? Ngga mau
nambah?” aku menggodanya kembali. Bukan karena Revan suka es teh, tapi entah
kenapa setiap memesan makanan dan minuman, minuman yg dipesan Revan akan habis
terlebih dahulu dibanding makanan yg ia pesan dan itu selalu ku amati. Revan
menggeleng, “nanti kan ada minummu” jawabnya. Aku menyipitkan mata sok sinis. Aku
menulis pesanan Revan dan pesananku, roti bakar, kentang goreng dan milo es.
Kami berbincang-bincang seru,
diikuti cekikan tawa entah apa yg ditertawakan. Revan selalu tau bagaimana cara
memilih topik pembicaraan kemudian disusul tawa. Aku tidak bisa menyembunyikan itu, terlebih di depan Revan. Sambil menunggu pesanan datang
Revan membuka laptop miliknya. “Mau ngapain?” tanyaku. “Mau pindahin file”
heran, kenapa ngga dirumah aja, batinku.
Setelah makanan datang kami
menikmati makanan terlebih dahulu, “Tuh kan minum mu cepat habis” omelku. Revan
sedang memakan nasi goreng sembari memainkan handphone miliknya. Aku mengambil laptop
Revan, memindahkan di depanku. Melihat isi flashdisknya, lalu membuka sebuah file.
“File apa ini?” tanyaku.
“Itu beberapa mata kuliah yg akan
ku ambil di semester depan” di file itu tertera beberapa mata kuliah lengkap
dengan nama-nama dosen. Aku iseng bertanya
“Kenapa kamu memilih dosen ini?”
tanyaku kemudian menatapnya lekat-lekat.
“Karena dosennya cantik” ujar
Revan. Aku tertawa. “Terus kenapa?” lanjutku.
“Soalnya dosen itu gampang ngasi
nilai” aku tersenyum menahan tawa, aku tidak paham apa hubungan cantik dengan
nilai. Tapi begitulah Revan kadang tidak jelas.
“Terus kenapa mata kuliah ini
milih dosen ini” aku lanjut bertanya pada mata kuliah selanjutnya.
“Soalnya dosen itu sibuk” jawab
Revan.
“Terus?”
“Biar tiap mata kuliah itu kosong”
jawabnya enteng
“Hahaha” aku tertawa.
“Lalu kenapa dosen ini?” Aku
terus menanyakan alasan dia memilih dosen.
“Soalnya dosen itu sudah tua”
jawabnya sambil tertawa.
“Husss” aku menyenggol lengannya.
“Iya, biar ngga banyak tugas” aku
tertawa melihat ekspresi Revan. “Kamu ini niat kuliah atau apa” ujarku.
Tidak hanya itu, kami terus
berbincang-bincang. Merencanakan jadwal-jadwal petemuan kita selanjutnya.
Sebentar lagi sudah masuk kuliah, kami berdua bukan tipe yg sering bertemu
karena kesibukan kami masing-masing, tetapi kami selalu mengusahakan waktu untuk
bertemu.
Malam itu aku berharap waktu akan
berhenti seketika, aku ingin mendengarkan ocehan Revan lebih lama. Mendengar
tawanya. Sehingga waktu tidak akan bertambah larut dan kami tidak terburu-buru
untuk segera pulang. Tetapi aku juga ingin hari segera berganti kemudian mewujudkan
rencana jalan-jalan kita di banyak tempat. Mengambil momen untuk diabadikan.
- - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - -
Aku tercengang tiba-tiba.
Menghentikan jariku yg sedari tadi menari di atas keyboard tanpa bisa ku
kendalikan. Ia menari bahagia. Aku menatap layar laptop dengan tatapan kosong.
Kemudian menghembuskan nafas berat.
“Kamu salah memilih dosen. Bukan
waktu luang yg kamu dapatkan. Tapi merenggut semuanya. Kita kalah dengan ego
masing-masing. Membawa ego yg sudah membatu di kepada masing-masing”
Aku tersentak, mencoba
mengendalikan pikiranku agar tidak tenggelam terhadap memoriku sendiri.
“Sudah ah. Aku ngantuk” tiba-tiba
aku menggerutu sendiri. Segera mencari tulisan shut down pada layar laptop. Aku
melirik jam dinding berwarna pink di atas cermin kamarku. Waktu menunjukkan
pukul 23.00. Aku menutup laptop dan membereskan beberapa kertas di meja
belajarku. Beranjak dari kursi, segera menuju tempat
tidur. Terimakasih Revan sudah menghantarkan kantuk malam ini. Aku melimbunkan
tubuhku di balik selimut. Selamat tidur, semoga kamu sudah tidur di sana.
Kamarku gelap.
“Kita hanya sepasang
jarak yang tidak menemukan kata pulang- Adira”
0 komentar:
Posting Komentar